Imam Nizamul Haq Thanvi dari Asosiasi Muslim Internasional Selandia Baru mengatakan, dalam beberapa pekan setelah serangan itu, tiga hingga lima orang setiap hari telah menjadi Muslim di sebuah masjid di Wellington.
Di Manawatu, Ketua Asosiasi Muslim setempat, Zulfiqar Buton, telah bertemu dengan enam mualaf. Informasinya di sana telah lebih banyak lagi mualaf. Di Otago, mereka kehabisan bahan dan sedang merencanakan hari lain. Sementara, masjid Auckland juga melaporkan lebih banyak pengunjung. Artikel ini dipublikasikan laman RNZ pada Agustus 2019
"Saya selalu mencari tempat untuk saya dan menyesuaikan diri karena saya tidak pernah benar-benar cocok di mana pun," kata Megan Lovelady yang berusia 22 tahun.
Megan sekarang secara teratur menghadiri Masjid Al Noor, salah satu dari dua lokasi masjid yang diserangan pada Maret 2019.
Megan bingung tentang kehidupan sebelum serangan itu dan merasa dia tidak begitu yakin ke mana dia akan pergi.
Pekerja perhotelan telah bermigrasi bersama keluarganya dari Amerika ke Selandia Baru ketika dia berusia tujuh tahun. Christchurch adalah tempat mereka menetap. Namun, beberapa tahun yang lalu, tragedi pribadi terjadi ketika dia melihat pacarnya tertabrak kereta api.
"Setelah itu, saya seperti mengapa saya? (Mengapa saya harus melalui itu)," kata Megan sambil berlinang air mata.
"Jika Tuhan begitu perkasa dan dia bisa melakukan apa saja, mengapa dia tidak bisa menyelamatkan saya dari keharusan melalui itu? Itu mendorong saya menjauh dari keinginan untuk patuh (pada Tuhan)," ujarnya.
Setelah bertahun-tahun merasa tersesat secara spiritual dan emosional. Peristiwa setelah 15 Maret 2019 menyebabkan perubahan besar dalam hidupnya.
Di Hagley Park untuk Sholat Jumat bersama dengan ribuan orang lainnya yang masih belum pulih dari serangan itu, doa imam sangat menyentuh hati Megan.
“Itu berirama dan itu membuat saya merasa di dalam, saya ingin ikut melakukan gerakan (yang dilakukan Muslim), tetapi saya tidak tahu caranya, jadi saya hanya berdiri di sana dan menangis," ujarnya menjelaskan.
Ketika direnungkan, Megan mengatakan bahwa dia selalu menjadi seorang Muslim. Sejak pindah agama, dia mengunjungi masjid setiap hari, membaca Alquran dan literatur Islam lainnya serta menghabiskan waktu bersama Muslim lain untuk mempelajari praktik-praktik keyakinan barunya.
"Saya benar-benar merasa lebih betah dan lebih menjadi bagian dari komunitas daripada yang pernah saya miliki dalam hidup saya, Allah memanggil saya pulang," katanya.
Kisah lainnya, perjalanan Rob Dewhirst dimulai di Indonesia beberapa dekade lalu. “Saya memiliki celah (kekosongan) spiritual, saya memang pergi ke gereja, tetapi tampaknya tidak memenuhi celah itu," ujarnya menjelaskan.
Dia tinggal di Sumbawa bersama Muslim, termasuk calon istrinya, ketika dia terkesan dengan cara hidup mereka.
Rob dibesarkan di wilayah Waikato dan sebagai pemuda, bergabung dengan badan amal pembangunan internasional. Insinyur sipil dikirim untuk ditugaskan dan bekerja untuk meningkatkan akses terhadap air di daerah terpencil.
“Ketika saya di Indonesia dan pergi ke proyek di Sumbawa, saya bertemu dengan seorang pria bernama An-Jung. Hal yang membuatku takjub tentang An-Jung adalah kesabarannya. Dia tenang dan banyak hal terjadi begitu saja, An-Jung memiliki aura yang luar biasa tentang dirinya sendiri," katanya
"Mungkin penghalang terbesar adalah masa kecil saya dan citra yang saya miliki tentang Islam adalah orang-orang liar yang membajak pesawat dan selalu meledakkan segalanya," ujarnya.
"Itu memiliki dampak negatif yang sangat besar pada saya dan ketika saya pergi ke Indonesia, itu adalah citra utama yang saya miliki tentang Islam," kata Rob.
Rob dan istrinya memiliki empat anak di Indonesia dan akhirnya menetap di Selandia Baru pada 1997. Pasangan tersebut kini telah menikah selama 33 tahun.
No comments:
Post a Comment